BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia pada hakikatnya diciptakan
oleh Tuhan sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap
manusia merupakan tuntutan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia terhadap
sesamanya tanpa terkecuali. Sejak dilahirkan manusia telah memiliki hak asasi.
Hak asasi tersebut merupakan hak dasar dari Tuhan yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Indonesia
merupakan negara yang paling banyak memiliki ragam budaya dibandingkan dengan
negara lainnya . Tidak hanya itu, di Indonesia juga terdapat perbedaan atas
ras, suku, agama, dan adat-istiadat yang merupakan ciri khas daerah
masing-masing. Namun demikian, perbedaan
itulah yang mengantarkan Indonesia pada persatuan dan kesatuan.
Dengan
adanya UUD 1945 sebagai dasar negara, segala hal mengenai perbedaan itu
terangkum didalamnya dan menjadi tolok ukur bagi kesejahteraan warga negara sehingga diharapkan tidak ada
batas antara kelompok satu dengan yang lainnya dan tidak ada yang merasa di
anak-tirikan oleh pemerintah atau merasa menjadi kaum minoritas. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 C ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Dasar negara ini menekankan tiap
orang berhak untuk mendapatkan segala hal yang menjadi tumpuan, penunjang
ataupun alat dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraannya
tanpa harus merugikan orang lain dan lingkungannya. Hal yang menjadi penentu
tingkat kualitas kehidupan dan kesejahteraan salah satunya adalah tingkat
pendidikan. Melalui pendidikan seseorang dapat mendapatkan ilmu pengetahuan dan
segala hal yang dapat membantunya meningkatkan kualitas hidupnya. Memperoleh pendidikan
yang layak merupakan hak tiap warga negara dan negara berkewajiban memberikan
secara merata dan seimbang kepada tiap warganya tanpa terkecuali.
Namun pada kenyataannya, pemerintah
belum memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas kepada setiap warganya.
Di daerah perkotaan, pendidikan yang
berkualitas semakin sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Sedangkan di daerah pelosok, permasalahan yang terjadi sering kali kurangnya
tenaga pendidikan dan fasilitas pendidikan. Hal ini merupakan contoh bentuk
dari pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap kaum minoritas atau terjadinya
diskriminasi terhadap masyarakat menengah kebawah dalam bidang pendidikan.
Dengan
melihat adanya kasus diskriminasi
yang banyak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, maka saya akan membahas lebih
lanjut masalah diskriminasi
pendidikan terhadap kaum minoritas di Indonesia dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana bentuk diskriminasi pendidikan yang dialami kaum
minoritas?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bentuk diskriminasi pendidikan yang dialami
kaum minoritas atau masyarakat menengah ke bawah
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak
dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat
mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak
bias terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Dalam undang-undang tentang hak
asasi manusia pasal 1 dinyatakan : “Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
mertabat manusia”.
Menurut Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 atau yang dikenal dengan sebagai piagam hak asasi manusia
Indonesia, hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi
hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh
karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selanjutnya,
manusia hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan dan
kehidupannya dalam masyarakat.
2.2
Pengertian HAM menurut beberapa tokoh:
2.2.1
Menurut John Locke (two
treaties on civil government) dalam Budiyanto (2006 : 73)
Hak asasi manusia
adalah hak yang di bawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap
manusia dan tidak dapat di ganggu gugat (bersifat mutlak).
2.2.2
Menurut Koentjoro
poerhapranoto (1976) dalam Budiyanto ( 2006 :73 )
Hak asasi manusia
adalah hak yang bersifat asasi artinya hak – hak yang dimiliki manusia menurut
kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
2.2.3
Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia.
2.3 Macam-macam
HAM
Manusia
selalu memiliki hak-hak dasar (basic rights) antara lain :
1. Hak hidup
2. Hak untuk
hidup tanpa ada perasaan takut dilikai atau dibunuh oleh orang lain
3. Hak
kebebasan
4. Hak untuk
bebas, hak untuk memiliki agama/kepercayaan, hak untuk memperoleh informasi,
hak menyatakan pendapat, hak berserikat dan sebagainya
5. Hak
kepemilikan
6. Hak untuk
memiliki sesuatu, seperti pakaian, rumah, mobil, perusahaan, dan sebagainya
Sedangkan
menurut deklarasi HAM PBB secara singkat
dijelaskan seperangkat hak-hak dasar manusia yang sangat sarat dengan hak-hak
yuridis, seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa dan
ditahan, dipersamakan dimuka hokum (equality
before the law), mendapatkan praduga tidak bersalah dan sebagainya. Hak-hak
lain juga dimuat dalam deklarasi tersebut seperti hak-hak nasionalitas,
pemilikan, pemikiran, agama, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan berbudaya.
2.4 Pengertian Diskriminasi
Secara formal, pengertian diskriminasi diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat (3). Undang-undang tersebut menyatakan, ‘Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya’.
Menurut
Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan
yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu,
biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan
ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah
tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang
dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan
bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam
arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat aktif atau aspek yang dapat
terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative
prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok.
Dalam
rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang
berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian
masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap
individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk
membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Bentuk Diskriminasi ada 2, yaitu:
· Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
· Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
2.5 Pengertian
Kelompok Minoritas
Menurut
Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), Kelompok minoritas [minority
groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras,
agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice]
atau diskriminasi, istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah
istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada
kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada
kelompok mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum
wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau
pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai
kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada
pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan
sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged]
atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif,
tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah
minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan
dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada
mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek
prasangka atau diskriminasi.
2.6 Dasar
Hukum Mengenai Pendidikan
Pendidikan
merupakan amanat Pasal 31 ayat 1 Perubahaan Keempat Undang-undang Dasar 1945,
yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Penerapan pasal ini ditindak lanjuti dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 5 Undang-undang ini menyatakan bahwa: “Setiap warga negara,
laki-laki, dan perempuan berhak mendapatkan pendidikan bermutu”. Pendidikan
bermutu disinilah tentunya termasuk sekolah percontohan yang saat ini tengah
dikembangkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penerapan Pasal ini
bersifat anti diskriminatif. Hal ini
dapat dilihat dalam pasal 4, Bab III, Undang-undang No.20 Tahun 2003, Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia”. Makna dari
pasal ini semua warga mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan tanpa ada persyaratan-persyaratan khusus seperti harus memiliki
kesempurnaan fisik.
Pasal
ini diperkuat kembali oleh Pasal 11 ayat 1 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa : (1) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahaan serta menjamin
terselenggarannya pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, dan (2)
Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dan guna
terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus
Diskriminasi Pendidikan
Pada masa demokrasi sekarang ini, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran mengenai HAM yang semakin kompleks, baik pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM ringan. Misalnya pada kasus diskriminasi pendidikan yang dialami anak di Sumut. Berdasarkan data dari Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP), sepanjang tahun 2011 terdapat 15 kasus diskriminasi terhadap anak di bidang pendidikan. Kasus-kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan tersebut terutama berkenaan dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah. Di Kota Padang Sidempuan misalnya, ada anak yang ditolak mendaftar di sekolah menengah kejuruan karena cacat kaki. Pihak sekolah menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota. Kondisi ini merupakan pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Semestinya UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional menjamin tidak ada diskriminasi dalam pendidikan.
Ironisnya, dalam kasus Sumut diskriminasi dalam
bidang pendidikan tidak saja terjadi terhadap anak-anak cacat, tapi juga terhadap
orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya biaya.
Terlebih untuk mengakses sekolah-sekolah yang mengubah statusnya menjadi
Rintisan Sekolah Berstatus Internasional (RSBI).
Tidak hanya itu, kasus diskriminasi dalam hal pendidikan
juga banyak sekali ditemukan di Indonesia. Sebut saja Immi, gadis kecil yang
mendaftar ke SD Don Bosco 2, Pulomas, Jakarta Timur pada bulan Februari lalu. Sebelumnya diberitakan, Immi ditolak masuk
sekolah karena ayahnya yang seorang penulis terinfeksi HIV/AIDS. Immi tidak
terinfeksi HIV seperti ayahnya, namun ia tetap menerima diskriminasi karena
menjadi anak seorang HIV. Immi
yang baru saja diterima di SD Don Bosco Kelapa Gading, tiba-tiba saja ditolak
dan penerimaannya dibatalkan hanya melalui pesan singkat (SMS). Pihak sekolah
beralasan membatalkan keputusan menerima Immi karena beberapa calon orangtua
siswa menolak keberadaan Immi.
Kemudian
kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia bagian Timur, dilakukan oleh
pemerintah sendiri. Misalnya, dalam ujian nasional setiap
tahunnya di Indonesia bagian Timur mendominasi tingkat kelulusan yang rendah
dibanding Indonesia bagian Barat. Hal ini dikarenakan sangat minimnya sarana
dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk para
siswa di tempat tersebut.
Saat ini, banyak dari kita yang tinggal di
kota,sangat di perhatikan sekali dalam bidang pendidikan oleh pemerintah pusat
dan daerah. Tapi coba kita bayangkan sejenak, bagaimana dengan kondisi proses
belajar mengajar di Indonesia bagian Timur yang sangat dianaktirikan oleh
pemerintah kita. Sebenarnya, potensi anak bangsa Indonesia sangat besar asal
mereka di asah secara baik sehingga kemampuan yang ada pada mereka bisa terus
dikembangkan dan terarah.
3.2 Analisa Kasus
Manusia
diciptakan oleh Tuhan lebih sempurna dari makhluk-makhluk lainnya. Namun
demikian, bukanlah menjadi masalah jika ada beberapa diantara mereka yang
dilahirkan dengan kondisi cacat atau lahir secara premature. Di Indonesia, baik
orang yang dilahirkan secara normal maupun cacat memiliki persamaan hak di mata
hukum. Hak-hak tersebut tercantum dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999, salah
satunya adalah hak untuk memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan
pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka
yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah ke atas,
tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan pendidikan.
Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia, mereka dengan mudah
dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan
les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi.
Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami
kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka
tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke
sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang
rumit serta biaya yang mahal.
Kita semua pasti merasakan betapa akses ke dunia pendidikan
tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi
oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja
sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak,
mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai
pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang
kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam
mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban
misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan
bisnis yang subur.
Diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri ini tidak hanya disebabkan oleh penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tetapi juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan dapat dilihat dari beberapa aspek berikut ini.
Pertama, diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan. Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi. Anak-anak yang sekolah di pedesaan harus ikhlas dengan gedung dan fasilitas yang jauh dari harapan dan tak memenuhi standar nasional pendidikan.
Jangankan untuk menikmati fasilitas pendidikan modern seperti komputer dan internet, untuk belajar saja terkadang mereka harus kepanasan terkena terik matahari bahkan harus libur tatkala hujan mengguyur. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas belajar di perkotaan yang serba lengkap dan serba mewah.
Kedua, hadirnya program Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasioanal (SBI) dengan fasilitas lengkap, namun dengan biaya yang cukup tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh semua masyarakat. Pendidikan berstandar nasional dan internasional seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki prestasi cemerlang.
Namun karena biaya yang tak terjangkau, banyak anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tak dapat menikmati sekolah bergengsi tersebut. Maka tak heran jika sekolah bergengsi yang diprogramkan pemerintah belum mampu menghasilkan out put yang cerdas dan handal sesuai dengan namanya sekolah berstandar internasional.
Ketiga, diskriminasi antara pendidikan agama dan umum. Pendidikan agama baik madrasah maupun pesantren merupakan bagian integral dari pendidikan nasional yang memiliki tujuan yang sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sayangnya madrasah dan pondok pesantren terkesan dianaktirikan. Bahkan di beberapa daerah di kabupaten tidak memiliki madrasah tempat anak negeri ini mendalami ajaran agamanya sebagai wadah untuk membina akhlak dan budi pekerti mulia.
Keempat, pendidikan di Indonesia masih tercemar oleh virus KKN dan masih bersifat pragmatis, sehingga pendidikan yang layak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki segudang materi dan sederet keluarga yang sedang berkuasa. Berdasarkan angka partisipasi murni nasional masih banyak anak negeri ini yang belum dapat menikmati pendidikan. Angka partisipasi murni untuk tingkat SD sudah cukup tinggi dengan angka 94,06 persen untuk laki-laki dan 93,91 persen untuk perempuan.
Namun untuk tingkat SLTP hanya 66,36 persen untuk laki-laki dan 67,62 persen, bahkan yang lebih memprihatinkan adalah untuk tingkat SLTA hanya 44,98 persen untuk laki-laki dan 44,51 persen untuk perempuan. Ini berarti lebih dari 50 persen anak negeri ini belum dapat mengenyam pendidikan tingkat atas/SLTA apalagi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak anak yang tak dapat menikmatinya.
Kelima, praktik diskriminasi pendidikan juga terjadi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran selalu berorientasi pada aspek kognitif saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik selalu diabaikan.
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka, sehingga siswa hanya berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan mengabaikan kecerdasan lainnya. Maka tak heran kalau di negeri ini banyak generasi yang pintar secara kognitif tapi tak bermoral. Banyak anak negeri yang pandai bicara tapi tak mampu berbuat. Diskriminasi pendidikan yang terjadi di semua aspek dan tingkatan akan memberikan dampak negatif terhadap kemajuan pendidikan nasional dan akan memperburuk citra pendidikan di mata dunia.
Pertama, diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan. Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi. Anak-anak yang sekolah di pedesaan harus ikhlas dengan gedung dan fasilitas yang jauh dari harapan dan tak memenuhi standar nasional pendidikan.
Jangankan untuk menikmati fasilitas pendidikan modern seperti komputer dan internet, untuk belajar saja terkadang mereka harus kepanasan terkena terik matahari bahkan harus libur tatkala hujan mengguyur. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas belajar di perkotaan yang serba lengkap dan serba mewah.
Kedua, hadirnya program Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasioanal (SBI) dengan fasilitas lengkap, namun dengan biaya yang cukup tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh semua masyarakat. Pendidikan berstandar nasional dan internasional seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki prestasi cemerlang.
Namun karena biaya yang tak terjangkau, banyak anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tak dapat menikmati sekolah bergengsi tersebut. Maka tak heran jika sekolah bergengsi yang diprogramkan pemerintah belum mampu menghasilkan out put yang cerdas dan handal sesuai dengan namanya sekolah berstandar internasional.
Ketiga, diskriminasi antara pendidikan agama dan umum. Pendidikan agama baik madrasah maupun pesantren merupakan bagian integral dari pendidikan nasional yang memiliki tujuan yang sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sayangnya madrasah dan pondok pesantren terkesan dianaktirikan. Bahkan di beberapa daerah di kabupaten tidak memiliki madrasah tempat anak negeri ini mendalami ajaran agamanya sebagai wadah untuk membina akhlak dan budi pekerti mulia.
Keempat, pendidikan di Indonesia masih tercemar oleh virus KKN dan masih bersifat pragmatis, sehingga pendidikan yang layak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki segudang materi dan sederet keluarga yang sedang berkuasa. Berdasarkan angka partisipasi murni nasional masih banyak anak negeri ini yang belum dapat menikmati pendidikan. Angka partisipasi murni untuk tingkat SD sudah cukup tinggi dengan angka 94,06 persen untuk laki-laki dan 93,91 persen untuk perempuan.
Namun untuk tingkat SLTP hanya 66,36 persen untuk laki-laki dan 67,62 persen, bahkan yang lebih memprihatinkan adalah untuk tingkat SLTA hanya 44,98 persen untuk laki-laki dan 44,51 persen untuk perempuan. Ini berarti lebih dari 50 persen anak negeri ini belum dapat mengenyam pendidikan tingkat atas/SLTA apalagi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak anak yang tak dapat menikmatinya.
Kelima, praktik diskriminasi pendidikan juga terjadi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran selalu berorientasi pada aspek kognitif saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik selalu diabaikan.
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka, sehingga siswa hanya berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan mengabaikan kecerdasan lainnya. Maka tak heran kalau di negeri ini banyak generasi yang pintar secara kognitif tapi tak bermoral. Banyak anak negeri yang pandai bicara tapi tak mampu berbuat. Diskriminasi pendidikan yang terjadi di semua aspek dan tingkatan akan memberikan dampak negatif terhadap kemajuan pendidikan nasional dan akan memperburuk citra pendidikan di mata dunia.
Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak
meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya
reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat
jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang
mampu menjadi penggerak.
Masalah
diskriminasi pendidikan merupakan cerita lama yang kurang diperhatikan oleh
kita sebagai sesama orang Indonesia. Karena permasalahan ini merupakan kunci
utama dari kualitas dan kuantitas bangsa Indonesia kedepan, untuk bersaing
didunia Internasional. Banyak
hal yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, terutama masalah
diskriminasi pendidikan. Pemerintah mengeluarkan ketetapan-ketetapan untuk
melindungi warga negaranya terhadap tindak diskriminasi agar tidak terjadi
marginalisasi antara kelompok mayoritas dan kelompok yang dianggap minoritas.
Namun pada kenyataannya, segala ketetapan yang
dibentuk oleh pemerintah tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Masih ada
masalah diskriminasi yang terjadi di bagian Indonesia, baik di daerah terpencil
maupun di kota-kota besar seperti di Jakarta. Hal ini dikarenakan kurangnya
pengawasan dan perhatian khusus dari pihak yang berwenang, sehingga oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab menjadi bebas melakukan pelanggaran-pelanggaran
yang menentang HAM, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara
terang-terangan.
Sungguh sangat disayangkan, adanya iklan ‘Ayo
Sekolah’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di
sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya atau berbagai alasan yang
tidak bisa dibenarkan dalam segi hukum. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara
kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak
tanpa terkecuali.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Diskriminasi
adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok,
berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas,
seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas
sosial.
Kelompok minoritas [minority groups] adalah
kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau
sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice]
atau diskriminasi.
Banyak kasus diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri
kita ini, kasus ini terjadi pada anak cacat yang ditolak untuk bersekolah.
Tidak hanya itu, kasus diskriminasi pendidikan juga dialami oleh orang miskin
yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya biaya.
Kasus lain misalnya, seorang bocah di Jakarta menerima
diskriminasi karena menjadi anak seorang HIV. Dia ditolak oleh sekolah karena
telah jujur bahwa ayahnya positif terkena HIV/AIDS.
Kasus ini sungguh sangat disayangkan, karena ketetapan yang
dibuat oleh pemerintah sepertinya dibuat untuk diselewengkan atau dilanggar.
Ini berarti pemerintah gagal melakukan tugasnya untuk melindungi serta menyejahterakan
warga negaranya.
4.2 Saran
Mewujudkan pendidikan untuk semua tanpa diskriminasi bukanlah merupakan hal yang mudah, namun bukan pula mustahil untuk diwujudkan jika diikuti dengan niat baik dan political will pemerintah untuk memajukan bangsa ini. Sebab kemajuan hanya akan menghampiri bangsa yang punya perhatian tinggi terhadap pendidikan.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika diskriminasi pendidikan.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika diskriminasi pendidikan.
- Pertama, pemerintah harus melibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan melalui program link and match.
- Kedua, memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah bahkan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
- Ketiga, pemerintah harus menata ulang kebijakan proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) bagi sekolah dasar dan menengah maupun Seleksi Masuk Nasional Pergruan Tinggi Negeri (SMNPTN), serta menindak tegas lembaga pendidikan yang melakukan praktik KKN dalam penerimaan siswa/mahasiswa baru. Salah satu penyebab kegagalan dan keengganan siswa untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi adalah karena berbelitnya prosedur penerimaan siswa/mahasiswa baru ditambah lagi dengan praktik KKN yang selalu menghiasinya, sehingga peluang anak kurang mampu dan tak punya keluarga pejabat semakin kecil.
- Keempat, untuk mengatasi diskriminasi pendidikan dalam proses pembelajaran, pemerintah harus merumuskan sistem evaluasi pembelajaran yang integral dan universal. Sehingga proses pembelajaran berorientasi pada semua aspek baik kognitif, afektif maupun psikomotor. Dengan demikian pendidikan akan akan menghasilkan lulusan yang cerdas secara kognitif, berakhlak mulia dan mampu berkarya. Kita menunggu kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat demi terwujudnya pendidikan untuk semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar